Hari ini, aku memandikanmu,,, Ya, dengan perlahan dan tangis yang tertahan aku basuh seluruh badanmu dengan penuh kelembutan. Daun bidara yang baru dipetik itupun ku sapukan dengan ringan ke bagian-bagian tubuhmu.
Aku teringat, kala kita masih kecil kerap kali kita bermandi hujan bersama dan bermain-main air bersama di pelataran rumah kita. Sudah berkali-kali rasanya ibu memarahi kita yang selalu pulang dalam keadaan basah kuyup. Bahkan pernah karena saking marahnya ia memukul kita dengan kemoceng. Tapi, setelah dipukul dan menangis, kau mendekat kepadaku dan berkata,
“Besok kita main lagi ya Mas..”, katamu sambil tersenyum seolah pukulan itu tidak pernah kita rasakan. Aku pun tertawa dan mengiyakan permintaannya.
Sebagai kakak beradik, hubungan kami berdua sangat dekat. Mungkin karena perbedaan usia kami yang hanya terpaut satu tahun saja, membuat kami nyaman untuk melakukan hal bersama. Rasanya rumah akan sepi jika kami tidak bersama-sama bermain dan sekedar membuat rumah berantakan.
Hari ini, aku menyolatimu,,, Ya, dengan haru yang sudah sangat membuncah di hati, aku mengangkat tanganku dan bertakbir. Tak kuasa menahan sedihnya, akhirnya aku menyerah dan membiarkan air mataku meleleh di dalam sholatku ini.
Mas masih ingat betul dengan kebiasaan kita dulu. Sebelum Mas pindah ke Jakarta, hampir setiap adzan memanggil, kita berjalan bersama menuju masjid untuk melakukan sholat berjamaah. Tak pernah absen pula tilawah bersama yang kita lakukan setiap ba’da maghrib. Sungguh, hari ini Mas sangat merindukan tilawahmu yang merdu itu. Mas tak pernah malu jika Mas kadang memintamu untuk mengajariku membaca kalam itu. Mas justru menikmati kebersamaan itu dan selalu merindukannya ketika berada jauh dari rumah.
Ya Dek… Mas rindu dengan suara tilawahmu…
Hari ini, aku mengangkat kerandamu menuju tempat istirahatmu.
Sungguh, beratnya keranda ini tidaklah seberat rasa kehilangan Mas terhadap dirimu. Sungguh, langkah-langkah yang harus kutempuh ini menjadi lebih berat, ketika tahu bahwa saat kita sampai disana… maka itu berarti, aku tidak akan bisa melihat wajahmu lagi.
Di dalam lubang yang kecil itu sempat kulihat wajahmu lekat-lekat, sebelum aku benar-benar tidak akan bisa melihatmu lagi. Wajah sahabat kecilku yang selalu kusayang dan wajah saudaraku yang selalu kudoakan. Aku hampir-hampir tidak bisa menguasai diriku melihat wajahmu yang kaku dan membiru itu… Wajahmu yang dulu segar, kini kurus menegering setelah beberapa minggu terampas di pembaringan rumah sakit. Tahukah kamu , Dek? Ketika Mas mendengar tentang sakit parahmu, Mas sangat ingin pulang dan menemani hari-harimu menjalani sakit itu. Ketika Mas mendengar cerita ibu tentang dirimu yang selalu mengaduh setiap saat, Mas juga merasakan kedukaan yang sama dengan dirimu.
Beruntung, seminggu ini aku mengambil cuti dan bisa menemani hari-hari akhirmu… Entah kenapa selama seminggu itu kau terus saja bercerita dan mengenang kembali masa lalu kita. tentang permainan-permainan kita, tentang pertengkaran-pertengkaran kita dan tentang kerinduaanmu kepada ayah. Aku benar-benar tidak menyadari bahwa itu mungkin isyarat kepergianmu. Seandainya aku meyadari… pasti aku akan lebih banyak bercerita kepadamu. Pasti aku akan lebih banyak mendengar kisahmu, dan pasti aku akan lebih banyak menemanimu…
Hari ini, aku berdiri di samping kuburmu. Bercerita sendiri dan mengelus-elus nisanmu… bagiku kau lebih dari sekedar adik, kau adalah teman, kawan bahkan sebagai anak yang harus kulindungi.
Maafkan Mas, Dek…Mas belum.. bisa menggantikan ayah….Mas belum bisa membahagiakanmu dan juga ibu..
Sejenak aku termenung. Memandang langit yang biasa kita pandangi dulu.
Kau pernah bertanya, “Mas.. apakah di masa depan. langit masih tetap berwarna biru”
Aku hanya terdiam dan tidak membalas pertanyaanmu.
Lama aku berdiri dan mencoba mengusap mataku yang memerah itu. Menghapus noda tangis yang masih tersisa diwajahku. Mencoba memperbaiki raut wajahku, agar aku bisa kembali ke rumah dan menghibur ibu.
Langit masih akan tetap biru Dek..Seperti keberadaanmu yang selalu ada di hati Mas..
0 komentar:
Posting Komentar